Home Sastra Sayang Tapi Gengsi
Sastra

Sayang Tapi Gengsi

Sayang Tapi Gengsi Secangkir kopi menamaniku malam ini, seperti biasa duduk di meja kerja. Bersama dengan berkas yang ada di dalam mesin ketik yang kini telah canggih karena dapat menyimpan […]

Sayang Tapi Gengsi

Secangkir kopi menamaniku malam ini, seperti biasa duduk di meja kerja. Bersama dengan berkas yang ada di dalam mesin ketik yang kini telah canggih karena dapat menyimpan segala jenis file, bahkan banyak orang dapat menyimpan rahasia kehidupan dan pekerjannya di sana. Kalian dapat menyebutnya Laptop atau Notebook.

Kehilangan benda itu sama seperti kalian kehilangan separuh nafas kalian, Kenapa? Karena semua berkas penting tersimpan rapih di sana. Bahkan selalu ada orang yang mengatakan “Ambilah Laptopnya asal jangan berkas yang ada di dalamnya.”

Tetapi aku tidak akan mengatakan keduanya, karena sulit bagiku untuk membelinya kembali hehe….

Namaku Indira, panggil saja Dira. Seorang Guru SMA di salah satu sekolah negeri. Aku adalah gadis naif yang mempunyai banyak sekali impian. Perihal cita, cinta, dan masa depan. Seseorang akan berfikir apalagi yang ingin kamu raih di saat kau telah menggapai cita-cita dan memiliki masa depan?

Adakah yang salah dengan Impian dan Harapan yang selalu ada bahkan setelah cita-cita tercapai? Tidak kan?

“Dir, tolong belanjaan yang ada di meja makan, masukan ke dalam kulkas” Ibuku memanggil

“nanti dulu Bu, capek baru pulang kerja” Ucapku menjawab panggilannya.

Ibu menghampiri ku “Sebentar aja, abis itu istirahat lagi”

Dengan rasa malas, aku berjalan ke arah dapur dan melakukan apa yang diminta oleh ibuku “ga tau apa anaknya capek, masih disuruh-suruh”

Ibu menghampiriku dengan rasa kesal “Di suruh masukin belanjaan aja ngomel, udah sana biar ibu aja,’ sambil memasukan belanjaan ke dalam kulkas ibuku terus berbicara “kamu itu capek apa, cuma kerja, pulang tidur. Gak ngapa-ngapain aja capek, lagian kerja juga uangnya gak pernah ada, mending gak usah kerja sekalian!”

Hati ku tersentak mendengar ucapan Ibuku “kemaren Aku gak kerja disuruh kerja, gajinya seberapa aja gak jadi masalah yang penting kerja. Biar kuliah ku berguna, tapi setelah kerja dibilang begini. Ibu tuh maunya apa? Aku keterima kerja dengan gaji besar kata Ibu kejauhan belum biaya makan, minum, tempat tinggal. Sama aja gajimu abis gitu aja kata Ibu. “Bu semua itu ada prosesnya gak tiba-tiba baru kerja gajiku langsung 5 juta sebulan. Aku juga ngikutin mau ibu selama ini”

“Ya kamu itu harusnya bantuin Ibu pulang kerja, gak mbak, gak adeknya sama aja, pulang kerja langsung tiduran. Kamu pikir kamu doang yang kerja?”

“Mau Ibu gimana? Aku berhenti kerja? Iya biar bisa bantuin ibu beresin rumah nyapu , ngepel, nyuci. Aku lakuin Bu, besok aku keluar dari pekerjaan ku kalo gitu”

“Ya udah, terserah kamu!!”

Begitulah pertengkaran ku dengan ibuku sore tadi. Malam ini aku mengingatnya kembali sampai pekerjaanku untuk mengedit Perangkat Pembelajaran tertunda, kalimatnya begitu terngiang di kepala serta hatiku, selama ini aku memang selalu mengikuti keinginannya. Bahkan untuk tidak mengambil pekejaan dengan gaji yang besarpun itu semua permintaanya, dari dulu hingga saat ini aku selalu menurutinya.

Selama ini aku merasa seperti burung yang terus menerus berada dalam sangkarnya, tidak berhak menentukan pilihan. Bahkan untuk terbang beberapa detik saja lalu kembali lagi ke sangkarnya, tidak mempunyai hak.

Keinginanku berkuliah di luar kotapun harus pupus karena dirinya tidak memberi izin. Tetapi aku paham apa yang ia lakukan itu semua demi kebaikanku, bahkan kalimatnya sore tadipun sebenarnya ia menyesal mengatakannya.

Ia tidak bermaksud menyinggung perasaanku, tapi karena aku sudah terlanjur terluka atas ucapannya, ia pun terus meladeni kemarahanku. Begitulah ibuku seseorang yang begitu gengsi untuk mengucapkan kalimat sayang terhadap anaknya.

Ibuku mengatakan seperti itu karena lelah membersihkan rumah seharian, bukan karena ia membenci anaknya. Akupun balik memarahinya karena lelah bekerja seharian, aku selalu menanamkan ini ke dalam hati dan fikiranku hingga amarahku mereda, tanpa dirinya aku bukanlah apa-apa.

Tok…tok….tok

Suara ketukan pintu kamarku terdengar, lalu di balik sana ada yang membukanya secara perlahan “Dir, boleh Ibu masuk?” Tanya Ibuku.

“Masuk aja, Bu” jawabku.

Ibu berjalan ke arahku lalu duduk di tepi kasur, aku memutar kursi kerjaku menghadap ke arahnya “sejak kapan Ibu masuk ke kamar Dira harus pake izin dulu?” Tanyaku.

“Ibu takut ganggu Dira, boleh ibu ngomong sama Dira sebentar?”

“Boleh, Bu”

Ibu menggenggam tanganku “Dir, Ibu minta maaf ya karena ucapan ibu tadi sore. Dira jangan masukin ke dalam hati kalimat Ibu tadi, ibu ga ada maksud nyakitin hati Dira karena ucapan Ibu tadi.”

“Bu, Ibu gak perlu minta maaf sama Dira, Dira yang salah, hal kecil kayak tadi aja Dira masih ngeluh. Gimana kalo Dira jadi ibu? Ngerjain semua pekerjaan rumah dan seisinya sendirian. Dira yang harusnya minta maaf Bu, maafin Dira ya?”

“Ibu pasti maafin Dira, jangan fikirin ucapan ibu yang tadi ya, Dir. Ibu tadi cuma emosi aja, bukan berarti Ibu benci dan gak suka sama pekerjaan Dira” ucapnya sambil mengelus kepalaku

“Berarti kalo gak benci Ibu sayang sama Dira?” ucapku meledek.

Raut wajah yang diperlihatkan ibuku datar kembali “Gak juga”

“Terus gak sayang berarti sama anaknya?”

Ibu berjalan keluar dan berhenti di ambang pintu kamar, dan berbalik arah ke arah ku “Ibu mana yang gak sayang sama anaknya? Ibu gila kali itu”. Kemudian ia menutup pintu kamarku.

“Tinggal bilang sayang sama anaknya aja apa susahnya sih. (Dir Ibu sayang Dira) gitu Bu caranya” Teriakku

Dari banyaknya impian dan harapanku. Salah satunya adalah aku ingin terus melihat senyum ibuku merekah seperti tadi, karena hatiku selalu tenang melihat itu. Menandakan bahwa ibuku baik-baik saja. Begitulah pertengkaran kecil yang terjadi antara kami, menjadi besar karena melibatkan emosi di dalamnya. Menemukan solusi karena melibatkan perasaan juga di dalamnya.

Jadilah angin yang menyejukan hati orang tuamu pada saat orang tuamu sedang merasa panas. Buatlah masalah besar menjadi kecil, dan masalah kecil menjadi tidak ada, karena sesakit apapun dirimu atas kalimat yang keluar dari lisan orang tuamu percayalah itu juga sekaligus obat bagimu untuk menjadi lebih kuat dalam menghadapi setiap masalah. Kau ingin tahu siapa guru terbaik di sini? Bukan aku walaupun profesi ku seorang guru, melainkan lingkungan keluargamu itu sendiri. Ya Guru terbaik adalah lingkungan keluargamu itu sendiri!

Ku teguk kembali kopi yang sudah tidak panas lagi. Kembali kulanjutkan pekerjaan yang tertunda, hingga SELESAI!!

By : Agnes Afrilia

Previously

General Meeting Siswa Kelas X Unggul MAN 1 Bandar Lampung bersama Tim Tutor Garlint, Kampung Inggris, Pare, Kediri

Next

Multimedia Center MAN 1 Bandar Lampung

Agnes Afrilia
Author

Agnes Afrilia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

MDC