Home Guru Profil Guru Profil Sa’adatul Abadiyah, S.Th.I
Profil Guru

Profil Sa’adatul Abadiyah, S.Th.I

Sa’adatul Abadiyah, S.Th.I Guru Al-Qur’an Hadis MAN 1 Bandarlampung Sa’adatul Abadiyah, merupakan Guru Al-Qur’an Hadis MAN 1 Bandarlampung yang lahir di Sidoarjo, Jawa Timur. Terkadang dipanggil Diyah, Dhy, atau Sa’adah. […]

Sa’adatul Abadiyah, S.Th.I Guru Al-Qur’an Hadis MAN 1 Bandarlampung

Sa’adatul Abadiyah, merupakan Guru Al-Qur’an Hadis MAN 1 Bandarlampung yang lahir di Sidoarjo, Jawa Timur. Terkadang dipanggil Diyah, Dhy, atau Sa’adah. Di usia 4 tahun, Ayahnya bertugas di Anyer, Banten. Sehingga ia mengenyam pendidikan TK di sana. Sedangkan pendidikan SD ia arungi di 3 provinsi yang berbeda. Satu tahun pertamanya ditempuh di SDN 1 Labuan, Pandeglang, Banten. Kemudian, 1 cawu di awal tahun keduanya ia lanjutkan di TPI Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sementara sisa masa SD nya ditempuh di SDN 1 Sidomulyo, Lampung Selatan. Saat menjadi murid pindahan baru di Lampung, ia terheran-heran ketika teman sekelasnya menyebut kata “pulas” saat pelajaran menggambar, kata “basing sih” saat mengobrol dengan temannya, juga kata “biru terong dan kuning genteng” saat menyebut warna ungu dan oranye. Namun, satu hal yang jelas teringat , dirinya sungguh menyukai kemplang dari hari pertama jajan di warung Bu Apit.

Walaupun sudah janjian dengan teman-teman akan melanjutkan ke SMPN 1 Sidomulyo, nyatanya ia melanjutkan pendidikan ke MTs Diniyyah Putri Lampung. Pesantren khusus putri yang saat ini terletak di Kabupaten Pesawaran, mengikuti arahan dari ayahnya. Di Diniyyah Puteri lah kali pertama dirinya mengetahui  bahwa Bahasa Lampung terdiri dari dua dialek, mencoba tempoyak,   belajar sabar mengantri panjang untuk mengambil lauk makan, memilih mandi pagi pada pukul 03.00  agar leluasa jebar jebur, dan memiliki teman dari berbagai daerah.  Merasa sudah betah di Diniyyah Putri, tentu kaget sekali ketika dirinya mengetahui bahwa sang ayah menginginkan pendidikannya untuk dilanjutkan di pesantren lain. Pada fase inilah, Diyah menamai bab perjalanan hidupnya dengan judul “Tersesat di Jalan yang Benar”. Kala itu, butuh waktu seminggu untuk mencari pesantren yang terbaik versi ayah.

Tepat di hari ketujuh, ayah mengajaknya melaju ke Penengahan, Lampung Selatan. Terik matahari menghentikan motor dan membuat mereka berhenti tepat di Perempatan Palas. Iseng ayahnya bertanya kepada salah satu penduduk setempat, “Mohon maaf Pak, sekitar daerah sini, apakah ada pesantren?. Ndelalah, dengan semangat bapak yang ditanya menunjukkan jalan menuju Pasar Belambangan. “Pesantren baru 2 tahun Pak, dekat banget  dari sini”, Begitu kata beliau, menambahkan informasi. Berbekal petunjuk SI Bapak, motor melaju ke Pasar Belambangan. Pasar yang belakangan dirinya ketahui hanya ramai di Hari Jumat saja. Saat itu tentu terasa sepinya karena mereka berdua datang di Hari Selasa.

Tetiba rasa penasaran menghampiri, dimanakah letak pesantren itu, bagaimanakah gedungnya jika  baru dua tahun dibangun, apakah santrinya seramai Diniyyah Putri, dan apakah-apakah lainnya yang jawabannya sungguh ingin ia ketahui secepat mungkin. Ternyata, pesantren itu lebih kecil dari yang ia bayangkan. Sempat digantungi rasa enggan mendaftar, namun ia menemukan sesuatu yang berbeda. Guru dan santrinya sungguhlah ramah. Suasana pesantrennya sungguh bersih dan asri (Loh kok sudah panjang ya ceritanya, hehe). Singkat cerita, dirinya saat itu tidak dapat menjawab semua pertanyaan saat ujian tes masuk. Hal ini menyebabkan ia harus mengikuti kelas persiapan bahasa selama setahun sebelum duduk di kelas X. Rasa berat rugi setahun hilang seketika (baca:pasrah) saat ayahnya dengan enteng berseloroh “Nambah setahun gak papa, ilmu dan pengalamannya nya yang mahal”. Resmilah aku menjalani masa Aliyah selama 4 tahun di Pondok Pesantren Ushuluddin, Penengahan, Lampung Selatan.

Kuliah? Di benaknya saat itu hanyalah menyiapkan diri untuk mengabdi di pesantren selepas wisuda nanti. Hingga suatu sore, dirinya hanya ingat saat itu adalah hari Jumat di Maret 2007. Pak Kyai memanggil nya dan keempat temannya untuk mengikuti Program Beasiswa Santri Berprestasi. Dengan berbekal pengetahuan seadanya, ia mengisi formulir pendaftaran dengan pilihan Jurusan Bahasa Inggris dan Ekonomi Syariah. UIN Sunan Ampel (dulu masih IAIN) merupakan kampus yang ia pilih dengan alasan sederhana. Agar dekat dengan dengan keluarga besar di Sidoarjo.

Suatu sore di Bulan Juni. Wali kelas memanggilnya dan membagikan tiga kabar yang membuat ia kaget dibumbui tangis bombay. Kabar pertama, ia lolos beasiswa. Kabar kedua, bukan UIN Sunan Ampel, Surabaya, melainkan UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Dua kabar ini tentu mengandung tangis bahagia. Dirinya sangat amat rela jika harus kuliah di Jogjakarta. Namun kabar ketigalah yang membuat tangisan itu menjadi tangisan yang rasanya sesak. Bukan menjadi mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris atau Ekonomi Syari’ah, dirinya ternyata lolos di Jurusan Tafsir dan Hadis dengan sejumlah persyaratan berat  yang harus ia ikuti jika sanggup mengambil jurusan tersebut. Apakah artinya beasiswa ini dapat ditolaknya? Ya, Bisa. Tetapi jika ditolakpun, ia harus menanggung beban karena tolakan itu berisi konsekuensi bahwa adik-adik kelasnya tidak akan dapat mengikuti program beasiswa tersebut. Alhamdulillah, walau sempat kehilangan berat badan sebanyak 4 kilo di tiga bulan pertamanya, dirinya dikuatkan oleh banyak sosok. Keluarga, kawan, kawan dan guru-gurunya (Semoga Allah balas dengan berjuta kebaikan, amiin). Jatuh bangun mewarnai masa kuliah S1 nya.

Tidak perlu dibayangkan kawan, bagaimana rasanya lulusan jurusan IPS ini bergumul dengan semua hal yang berkenaan dengan Tafsir dan Hadis. Terlebih hampir seluruh teman sekelasnya adalah alumni pesantren dengan jurusan keagamaan yang sungguh khatam sekali membincang perkara Tafsir dan Hadist. Ya Allah, dirinya merasa tersesat jauh sekali. Terkadang dirinya merangkul mesra rasa tidak percaya diri yang menghampiri hampir setiap saat, terkadang mengusir jauh rasa itu dan menggantinya dengan semangat walaupun dengan tertatih.

Yura, dirinya bisa Yura. Jatuh bangun menikmati empat tahun di jurusan Tafsir dan Hadis. Karena di jurusan inilah dirinya terbiasa disajikan perbedaan pandangan ulama dalam menyikapi suatu hal.  Rasanya senang sekali bisa mendapat kesempatan belajar untuk menggali banyak hal tentang teks keagamaan lebih mendalam.  Sehingga di saat kembali pulang ke pesantren untuk mengabdi setelah lulus S1, dirinya mengiyakan tawaran orang tua untuk melanjutan pendidikan S2. Saat itu dirinya dengan yakin memilih jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Pascasarjana UIN Raden Intan. Ndilalah, calon mahasiswa saat itu yang mendaftar hanya delapan orang. Sehingga, kami diminta untuk beralih jurusan.

Simpel saja, dirinya memutuskan untuk beralih ke jurusan Pendidikan Agama Islam. Mengingat saat itu adalah tahun pertamanya mengabdi untuk menjadi tenaga pengajar di pesantren tempatnya belajar dulu. Dirinya menyadari  bahwa seorang guru haruslah belajar bagaimana cara menjadi seorang pendidik yang baik.  Dirinya ingat betul, ada tiga mahasiswa yang duduk di jurusan itu dengan latar belakang pendidikan S1 yang tidak linier. Tidak satu atau dua dosen yang  menyayangkan mengapa mereka memilih jurusan yang tidak linier. Dari beberapa ragam respon dosen, ada dua respon yang menurutnya sangat menohok. “Harusnya mbak g masuk jurusan ini”. “Wah agak susah nih nanti di dunia kerjanya. Repot administrasinya”.

Kekesalannya saat mendengar respon dosen diadukannya kepada ibunya di rumah. “Sudah dewasa kan Mbak? S2 to sekarang? Mereka guru-gurumu loh, mbok ya husnudzan aja. Mereka ngingetin biar serius belajarnya.” Minggu-minggu berikutnya dijalaninya dengan berbekal husnudzan. Ia hilangkan rasa kesal yang sempat mampir. Berharap bahwa perkuliahan dapat diikutinya dengan baik dengan ridha para dosen. Walaupun lagi-lagi ia merasa tersesat kembali. Bergumul dengan teman-teman dengan latar belakang pendidikan S1 PAI, membuatnya kadang harus mencuri banyak start untuk mengusir rasa minder.  

Hingga suatu hari ia mengikuti perkuliahan yang diampu oleh Prof. Dr. Syarifudin Basyar, M.Ag. Mulanya, beliau melontarkan pertanyaan yang sama seperti dosen-dosen sebelumnya. “Apakah di antara Mas Mbak mahasiswa ini ada yang berasal dari Non PAI?”. Ia menghela nafas, mengingat pesan ibu tempo hari. Seperti template, ia dan kedua temannya tunjuk tangan. Namun adegan setelah ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya.  “Mas, Mbak, gak papa kalau jurusan Anda tidak linier. Kata Allah, kunci diangkat derajatnya itu diminta belajar aja kan? Bukan harus linier jurusannya. “Ayatnya bilang gitu kan?, Tapi Anda harus serius belajar ya”. “Setiap dapat insight yang buat kita berujar “Oh gitu to,”  silahkan dinikmati karena itu dari Allah. “Tugas anda belajar dengan hati riang”. “Selebihnya ada Allah Yang Maha Kuasa mengatur takdir kita”. “Jangan lupa berdoa selalu”. Tutup beliau mengakhiri tema obrolan salah masuk jurusan ini. Waaaaaaah Sa’adatul Abadiyah terkesima. Sungguh ia tidak menyesali perjalanannya selama ini. Ia tapaki perjalanan S2 dengan hati riang.

Pertengahan September tahun 2018, setengah tidak percaya  ia membaca informasi tentang pembukaan CPNS di Kementerian Agama.  Yaaaa, ternyata dirinya dapat mengikuti Tes CPNS dengan formasi Guru Mapel Al-Qur’an Hadis dengan ijazah Non-FKIPnya itu. Sungguh benar, mari kita usaha dan berdoa. Kita punya Allah Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah, ditutupnya Bab “Tersesat di Jalan yang Benar” ini dengan penuh rasa syukur.

Previously

Farewell Party And Students' Talent Show Siswa Kelas X Unggul Man 1 Bandar Lampung

Next

Marching Band Citra Bahana Madaliansa Raih Juara umum Tingkat Provinsi Lampung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

MDC