Profil Poppy Novitasari, M.Pd.
Profil Poppy Novitasari, M.Pd., Guru Alqur’an Hadis MAN 1 Bandar Lampung Poppy Novitasari, merupakan guru AL qur’an Hadis MAN 1 Bandarlampung yang lahir di Tasikmalaya pada tahun 1974. Neng Poppy, […]
Profil Poppy Novitasari, M.Pd., Guru Alqur’an Hadis MAN 1 Bandar Lampung

Poppy Novitasari, merupakan guru AL qur’an Hadis MAN 1 Bandarlampung yang lahir di Tasikmalaya pada tahun 1974. Neng Poppy, begitu ia biasa dipanggil, menjalani hari-harinya dengan keceriaan, mudah berteman dengan siapa saja, dan telah dididik untuk disiplin sejak kecil oleh ayahnya, yang seorang PNS, serta ibunya, yang merupakan ibu rumah tangga.
Sejak kecil, ia sudah menunjukkan keberanian. Saat masih di TK, tanpa ragu ia mendaftarkan dirinya sendiri untuk tampil di panggung acara malam 17 Agustusan di kampungnya. Dengan mengenakan baju harian, ia melangkah penuh percaya diri, naik ke atas pentas, dan menggenggam mikrofon. Semua mata tertuju padanya, termasuk kedua orang tua dan kakak-kakaknya yang terkejut dan melongo. Dengan suara lantang, ia mulai membacakan puisi berjudul Hujan! sambil menghentakkan kaki kecilnya di atas panggung kayu, sontak mengundang gelak tawa para penonton.
Saat mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, bakatnya mulai terlihat. Pada tahun 1983, ketika ia duduk di kelas 2 SD, ia sudah menjadi vokalis bagi kakaknya yang bermain gitar bersama teman-temannya di warung Mak Enoh. Lagu-lagu yang dinyanyikannya bukanlah lagu anak-anak, melainkan lagu-lagu orang dewasa yang sering ia dengar dari suara tape milik tetangganya. Setiap kali diminta bernyanyi, ia mendapat upah Rp 25,- yang saat itu cukup untuk membeli satu bakwan Mak Enoh yang yummy …!
Di rumahnya, banyak sekali peraturan—mulai dari batasan waktu bermain, aturan saat makan, kewajiban tidur siang, hingga berbagai larangan yang harus dipatuhi. Tak heran, ia sempat merasa iri pada teman-teman sebayanya yang hidup dengan aturan yang lebih longgar. Suatu hari, ia berniat meniru temannya yang mencari perhatian dengan cara kabur dari rumah saat dimarahi orang tua. Namun, rencananya langsung ambyar ketika ibunya, alih-alih panik, justru menanggapi dengan santai, “ Sok we ek kabur mah…moal diteangan!“ What?? Seketika ia sadar bahwa cara konyol seperti itu tak akan berhasil, dan niatnya pun gatot alias gagal total.
Hobi bernyanyinya semakin terasah ketika ia duduk di kelas V SDN Galunggung IV. Ia terpilih sebagai salah satu anggota paduan suara sekolahnya dan, berkat latihan keras serta bimbingan gurunya yang luar biasa, tim mereka berhasil meraih juara 1 tingkat kabupaten. Di sanalah ia mulai mengenal istilah pecah suara, yang semakin memperkaya pemahamannya tentang musik.
Pendidikannya berlanjut ke SLTPN IV Tasikmalaya, yang terletak tepat di samping alun-alun Tasikmalaya, di belakang Puskesmas. Dari semua mata pelajaran, seni adalah yang paling ia sukai, terutama karena saat pelajaran ini berlangsung, siswa berpindah ke ruang khusus. Selain itu, ia juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler Pramuka.
Saat libur sekolah, kakaknya mendaftarkannya ke pesantren kilat, dan di sanalah ia pertama kali memahami kewajiban berhijab bagi wanita. Ketika duduk di kelas 2, ia pun mulai mengenakan hijab, meski dengan cara yang cukup unik. Dengan seragam SMP berlengan pendek, rok selutut, dan kaus kaki setinggi betis, ia berangkat ke sekolah dalam keadaan berhijab. Namun, begitu sampai, ia masuk ke kamar mandi untuk melepasnya, lalu memakainya kembali saat hendak pulang. Hal ini karena pada saat itu, aturan sekolah belum memperbolehkan siswa untuk berhijab.
Suatu hari, seorang teman kakaknya datang bertamu ke rumah. Namanya Kang Asep, putra seorang kyai di Tasikmalaya. Ia bercerita tentang sebuah pondok pesantren yang jauh di Ponorogo, Jawa Timur. Cerita itu menarik perhatian Abah dan Uminya, hingga mereka berniat mendaftarkan Poppy ke Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo. Si kecil Poppy pun mengumpulkan tekadnya untuk menempuh pendidikan di sana.
Selama empat tahun, ia belajar di Tarbiyatul Mu’allimat Al Islamiyah. Setelah lulus, ia memutuskan untuk mengabdikan diri sebagai salah satu ustadzah di pondok tersebut. Sambil mengabdi, ia juga melanjutkan kuliah selama empat tahun. Gajinya? Tak lain adalah biaya kuliahnya sendiri, ditambah dengan satu mangkuk sabun colek, satu odol ukuran sedang, satu batang sabun mandi, dan uang Rp 25.000.
Banyak pengalaman luar biasa yang ia dapatkan di sana—mulai dari belajar berorganisasi, menjadi MC, dirigen, hingga menjadi kakak koordinator Pramuka yang fenomenal. Selain itu, ia juga sempat mengabdi di Pondok Pesantren Amanah Muhammadiyah. Di masa pengabdiannya, ia menikah.
Ketika putra pertamanya berusia dua tahun, ia mengikuti suaminya merantau ke Lampung. Di sana, ia menjadi dosen honorer di IAIN Raden Intan Lampung dan Universitas Saburai. Tak berhenti di situ, ia mencoba peruntungannya dengan mengikuti seleksi CPNS untuk formasi guru MAN. Ternyata, ijazah yang diperolehnya dari Institut Agama Islam Riyadlotul Mujahidin menjadi kunci yang mengantarkannya menjadi Pegawai Negeri Sipil di MAN 1 Bandar Lampung.
Bertugas di MAN 1 bandar Lampung sejak tahun 2005, mengampu mata pelajaran Aqidah akhlak, di tahun ke-2 diminta untuk menjadi Pembina Asrama. Bersambung …