Eni Hastuti, M.Pd., Guru Bahasa Indonesia MAN 1 Bandar Lampung
Eni Hastuti, M.Pd., Guru Bahasa Indonesia MAN 1 Bandar Lampung Menjadi Guru bukan Sekadar Profesi tetapi Berawal dari Jatuh Hati Aku adalah pembelajar yang tak pernah selesai, melangkah dalam […]
Eni Hastuti, M.Pd., Guru Bahasa Indonesia MAN 1 Bandar Lampung
Menjadi Guru bukan Sekadar Profesi tetapi Berawal dari Jatuh Hati
Aku adalah pembelajar yang tak pernah selesai, melangkah dalam sunyi, menebar makna dalam kata dan laku. Mengajar bukan sekadar pekerjaan, tapi cara jiwa berbicara, tentang harapan, tentang masa depan, tentang cinta yang tak pernah usai. Setiap pagi merekah, kutanam benih harapan di hati para penerus bangsa. Dengan tinta dan suara, kubangun jembatan ke masa depan.

Aku Eni Hastuti, dibesarkan oleh seorang ibu dan bimbingan tangan ayah yang juga selalu menyalakan cahaya ilmu. Ya, ayahku juga seorang guru. Dua kakakku—pelita di ruang-ruang kelas—lebih dulu menapaki jalan sunyi bernama pengabdian. Aku tumbuh dalam rumah yang penuh dengan cerita tentang murid, papan tulis, dan pena merah. Bukan warisan harta, tapi warisan jiwa yang kuwarisi: semangat untuk menyalakan lilin-lilin kecil di tengah gelapnya ketidaktahuan.
Untuk menjadi guru, tak seorang pun pernah menuntunku dengan paksaan. Tidak ada titah, hanya teladan. Tidak ada desakan, hanya cinta yang mengakar dalam keteladanan. Menjadi guru bukan jalan yang ditentukan untukku melainkan jalan yang kutemukan sendiri, karena suara dalam hati ini bersenandung bahwa “Mengajar adalah bentuk cinta paling sunyi, tapi paling abadi.”
“Aku masuk SD di usia 7 tahun, bukan karena terlambat, tapi karena ibu belajar dari cinta dan pengalaman.”
Kakakku dulu masuk sekolah dasar saat usianya baru 5 tahun. Setiap pagi adalah drama air mata, setiap langkah menuju sekolah seperti memaksa hati kecil yang belum siap. Ibu kerepotan, bukan karena tidak sabar, tapi karena terlalu sayang untuk memaksakan. Maka ketika giliranku tiba, ibu memilih untuk menunggu—memberiku waktu tumbuh, mendewasakanku dalam pelukan sebelum melepas.
Di usia 7 tahun, aku melangkah ke gerbang sekolah tanpa tangis, karena hatiku sudah siap, dan ibu pun tenang. Keputusan itu bukan soal umur, tapi soal kesiapan, dan kasih ibu yang tak ingin mengulang cerita yang menyakitkan, walau sekadar tangisan kecil di pagi hari.
“Tahun 1987 menjadi jejak awal prestasiku—tahun yang menjadikan langkah kecilku mulai berarti besar.”
Aku menyelesaikan pendidikanku di SDN 5 Metro Utara, sekolah yang menjadi saksi awal dari semangat belajarku yang tak pernah padam. Saat kelulusan tiba, aku bukan sekadar lulus—aku lulus dengan nilai tertinggi, menjadi satu-satunya siswa dari sekolahku yang diterima di SMPN 1 Metro—sekolah menengah favorit, tempat yang menjadi impian banyak anak-anak Kota Metro saat itu. Bukan tentang menjadi yang terbaik, tapi tentang membuktikan bahwa asal sederhana tak menghalangi mimpi besar. Dari SD kecil di pojok kota, menuju SMP favorit di jantung Metro, semua berawal dari tekad, kerja keras, dan keyakinan.
“Tahun 1990, kelulusan SMP menandai babak baru dalam perjalanan pendidikanku—dan aku siap melangkah lebih jauh.”
Meski aku bukan lulusan terbaik, aku adalah salah satu siswa SMPN 1 Metro yang mencatatkan nilai cukup tinggi. Nilai itu menjadi tiket emasku, membawaku diterima dengan mudah di SMAN 1 Metro, sekolah menengah atas terfavorit dan paling bergengsi di Kota Metro. Yang membuat istimewa, aku tidak sendirian, sebagian besar siswa yang diterima di sana adalah teman-teman seperjuanganku dari SMP yang sama. Suasana yang hangat, wajah-wajah yang familiar, membuat langkah awal di sekolah baru terasa nyaman dan menyenangkan.
Dan di balik keberhasilanku itu, ada senyum bahagia orang tuaku yang tak perlu bingung memilihkan sekolah, karena nilaiku yang cukup baik telah membukakan pintu terbaik tanpa banyak tanya. Alhamdulillah, semua terasa begitu mengalir, karena ketika niat baik dipadukan dengan usaha, Tuhan selalu punya cara untuk menuntun pada jalan yang tepat.
“Cinta itu bisa tumbuh dari hal sederhana—bagiku, cinta pada pelajaran Bahasa Indonesia tumbuh karena seorang guru.”
Saat aku duduk di kelas 2 SMA, aku jatuh cinta pada pelajaran Bahasa Indonesia. Bukan cinta biasa—cinta yang membuatku duduk paling depan, mengerjakan tugas dengan senyum, dan menanti jam pelajaran seolah menanti tamasya. Bukan juga karena kata-katanya yang indah atau sastranya yang memesona, tapi karena cara sang guru mengajarkannya.
Beliau tidak hanya mengajar, tapi menyulap setiap pelajaran menjadi kisah, menyampaikan setiap materi dengan tawa, cerita, dan semangat yang menular. Setiap pertemuan di kelas serasa seperti masuk ke dunia baru, dunia yang membawa bahasa menjadi jembatan rasa, dan belajar menjadi hal yang dinanti-nanti. Dari guru itulah aku belajar, bahwa ilmu bisa ditanamkan bukan hanya lewat buku, tapi juga lewat ketulusan dan cara yang menyenangkan
“Tahun 1993, kelulusan SMA bukan akhir tetapi awal dari mimpi yang mulai menemukan jalannya.”
Sejak kelas 2 SMA, cinta itu tidak pudar. Justru semakin kuat. Sampai akhirnya aku mantap mengambil keputusan melanjutkan kuliah di Program Studi Bahasa Indonesia. Alhamdulillah, kedua orang tuaku menerima pilihanku dengan penuh keikhlasan dan dukungan. Dan tibalah saatnya UMPTN—aku mendaftar di Universitas Lampung, menaruh harapan besar pada satu nama, yaitu Prodi Bahasa Indonesia, Unila. Dan lagi-lagi, Alhamdulillah, aku diterima. Bukan karena aku paling pintar, tapi mungkin karena aku paling yakin bahwa belajar Bahasa Indonesia bukan sekadar pilihan, tapi panggilan hati sejak awal langkahku.
“Dari bangku kuliah hingga ruang kelas—semua adalah bagian dari cerita indah yang ditulis oleh takdir dan usaha.”
Hari demi hari kulalui sebagai mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia FKIP Unila, dengan segudang aktivitas, tugas, dan cerita seru yang mengisi perjalanan. Di sanalah aku tak hanya belajar teori dan sastra, tapi juga belajar menjadi pribadi yang siap mentransfer ilmu dengan hati.
Tahun 1998, aku resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Langkah pertama setelah lulus? Aku sempat melamar jadi guru honorer di sebuah SMA swasta. Namun, Allah selalu punya rencana yang lebih indah. Sebelum sempat mengajar secara honorer, aku mendapat kabar dari teman kuliah—ada pembukaan formasi guru Bahasa Indonesia di Madrasah Aliyah melalui CPNS Depag. Di Kota Bandar Lampung bahkan Provinsi Lampung, hanya satu formasi yang dibuka. Banyak yang ragu, tapi aku memilih untuk tetap mencoba.
Meski aku tahu info itu telat, hanya tersisa dua hari menuju penutupan pendaftaran, Alhamdulillah, semua persyaratan bisa aku selesaikan tepat waktu. Aku mendaftar di saat-saat terakhir—dengan harapan besar, dan doa yang tak pernah putus. Seleksi demi seleksi kulewati, dari berkas hingga tes tertulis. Hingga tibalah hari yang dinanti: pengumuman CPNS tahun 1999. Dan betapa harunya, saat melihat pengumuman langsung di Kanwil Depag Provinsi Lampung, namaku tercantum sebagai satu-satunya peserta yang diterima untuk formasi tersebut.
Tahun 2000, aku resmi menerima SK CPNS dan ditempatkan sebagai guru Bahasa Indonesia di MAN 1 Bandar Lampung—madrasah negeri terbaik di kota ini. Dan hingga kini, aku masih di sana, menyampaikan ilmu dengan cinta dan kesungguhan. Karena aku percaya, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Jika kita bersungguh-sungguh, Allah selalu punya cara untuk memuliakan setiap upaya.
Prajabatan
Bukan sekadar diklat bagi para calon abdi negara, tapi bagiku, ia adalah persimpangan takdir yang mempertemukan dua jiwa dalam satu jalan pengabdian. Sebulan setelah langkah pertamaku sebagai guru, aku menjalani diklat itu dengan semangat dan harap, dan di sanalah aku bertemu sosok lelaki yang tak hanya pemberani, tapi juga penyayang. Tatap matanya tegas, tutur katanya lugas, dan di balik sikapnya yang tenang, tersimpan keberanian yang membuatku yakin—dialah yang kelak menjadi ayah dari anak-anakku.
Prajabatan bukan hanya mendidikku untuk siap mengabdi, tapi juga diam-diam Allah selipkan kisah cinta yang suci. Dari situ, hidupku tak hanya berisi tugas dan pengabdian, tapi juga kebersamaan, keluarga, dan cinta yang penuh keberkahan.
Kini… tiga anak laki-laki adalah semesta kecilku, dan ratusan siswa adalah pelangi yang mampir tiap tahun. Aku ibu, aku guru, aku perempuan yang terus tumbuh di antara doa, tugas, dan tawa yang tak pernah benar-benar hilang. Di setiap huruf yang kutulis dan ucapan yang kuajarkan, kutitipkan cinta yang diam-diam bekerja.
“Bagiku, menjadi bagian dari keluarga besar MAN 1 Bandar Lampung bukan sekadar pekerjaan—ini adalah anugerah terbesar dalam hidupku.”
Setiap pagi aku menyapa siswa-siswiku dengan senyum, dan setiap sore aku pulang dengan hati yang penuh cerita. Mendampingi mereka tumbuh, belajar, dan bermimpi adalah kebahagiaan tersendiri yang tak tergantikan.
“Melangkah kembali ke almamater, adalah seperti pulang ke rumah dengan mimpi yang lebih besar.”
Setelah bertahun-tahun mengabdi sebagai pendidik, aku kembali menapaki tangga ilmu—melanjutkan studi S-2 di Universitas Lampung, kampus yang pernah menanamkan benih cinta pada Bahasa Indonesia. Kali ini aku menempuh Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sebuah perjalanan intelektual yang memperkaya tidak hanya pengetahuan, tetapi juga semangatku dalam mendidik dengan lebih mendalam dan bermakna. Dan pada tahun 2014, perjalanan itu sampai pada puncaknya. Dengan rasa syukur dan haru, aku menyelesaikan studiku, membawa pulang bukan hanya gelar M.Pd., tapi juga semangat baru untuk terus menebar ilmu bagi generasi penerus negeri.
MAN 1 bukan hanya tempatku mengajar, tapi juga rumah kedua tempat aku tumbuh bersama ilmu, bersama siswa, dan bersama keluarga hebat sesama pendidik. Dan hingga hari ini, aku tetap bersyukur karena Allah menakdirkanku berada di tempat yang paling tepat di antara orang-orang baik, dengan misi yang mulia: mendidik generasi dengan cinta dan ketulusan.
“Prinsip hidupku sederhana: ketika kita berjuang, maka bersungguh-sunggulah.”
Itulah modal utamaku, terutama ketika perjalanan karierku sebagai guru Bahasa Indonesia membawa aku ke tantangan baru—menjadi seorang pustakawan di MAN 1 Bandar Lampung. Berawal dari tugas tambahan sebagai Kepala Perpustakaan, aku yang berlatar belakang Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, mulai merambah dunia pustakawan dengan penuh semangat.

Tahun 2019, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Agama mengadakan Penganugerahan GTK Berprestasi, dan aku ditugasi sebagai perwakilan pustakawan dari madrasah kami. Awalnya, aku ragu dengan kemampuanku. Tapi, aku tetap bertekad mengikuti seleksi dari tingkat Kota, Provinsi, hingga Nasional.
Dan ternyata, Allah selalu punya cara. Aku terpilih menjadi nominator 5 besar untuk kategori pustakawan madrasah. Dari seorang guru Bahasa Indonesia, aku berkompetisi dengan pustakawan madrasah dari seluruh Indonesia. Dan berkat karunia-Nya, aku meraih Juara Harapan Tingkat Nasional.
Walaupun hanya sebagai Juara Harapan, aku tetap bersyukur, karena pencapaian itu membuka banyak pintu baru. Aku diundang sebagai Penulis Modul Pustakawan Madrasah oleh Dirjen GTK Madrasah di tahun 2021, dan dipercaya menjadi Fasilitator Nasional untuk Pustakawan Madrasah pada tahun yang sama. Pengalaman ini mengajarkan satu hal penting: Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Selama kita berjuang dengan sungguh-sungguh, pintu-pintu keberhasilan akan terbuka dengan cara yang tak terduga.

Di usiaku yang setengah abad ini, aku merenung, betapa perjalanan panjang telah terukir, 25 tahun sudah aku mengabdi, di madrasah tercinta MAN 1 Bandar Lampung, sebuah kampus yang ceria, tempat para bintang-bintang muda bersinar, menjadi saksi bisu dari setiap perjuangan, setiap tawa, setiap harapan yang tumbuh di setiap sudutnya.Dari pagi hingga sore, aku mengukir ilmu dan cinta, di antara buku, pelajaran, dan senyum-senyum kecil siswa-siswaku. Kampus ini adalah rumah, dan setiap langkahku adalah pengabdian yang tak pernah henti.
Semoga kita selalu diberi kesehatan dan perlindungan, hingga tiba waktunya kita memasuki masa purnabakti dengan penuh syukur,mencapai puncak pengabdian dengan penuh kebahagiaan. Aamiin…
Laboratorium Kimia MAN 1 Bandar Lampung
