Aisyah Mardini, S.Pd., Guru Fisika MAN 1 Bandar Lampung
Aisyah Mardini, S.Pd., Guru Fisika MAN 1 Bandar Lampung Di sudut bumi yang jarang disebut dalam peta, tersembunyi sebuah jorong- sebutan alamat kecil di Sumatera Barat- bernama Tambun Ijuk. Hijaunya […]

Aisyah Mardini, S.Pd., Guru Fisika MAN 1 Bandar Lampung

Di sudut bumi yang jarang disebut dalam peta, tersembunyi sebuah jorong- sebutan alamat kecil di Sumatera Barat- bernama Tambun Ijuk. Hijaunya sawah membentang seperti permadani yang disulam langit, sementara satu atau dua rumah adat berbentuk kepala kerbau dan sapaan penduduknya yang ramah terdengar disana-sini. Di sinilah seorang anak perempuan lahir, di tanggal 6 Maret 1996, seorang milenial. Namanya Aisyah Mardini—nama panjang untuk seorang wanita yang kelak akan tumbuh bersama mimpi-mimpi besarnya.
Dini-sebutan akrabnya- tumbuh dengan semesta yang penuh warna. Setiap Minggu pagi, selepas didikan Subuh, ia duduk bersila di depan televisi, matanya membulat menonton anime dan kartun yang menari-nari di layar kaca, typical pagi anak-anak generasi 90-an. Mulai dari Rudy Tabootie (Chalk zone), Inuyasha, Doraemon, Fairly Oddparents, Ben 10, dan dilanjutkan sampai acara MTv (Music Tv) di jam 12.00. Televisi adalah sarana hiburan elektronik anak-anak utama, mengingat belum adanya smartphone di awal 2000-an.
Tidak hanya melulu di depan layar kaca, Dini berpacu sepeda membelah angin sambil tertawa sepulang sekolah. Bersama teman-teman, ia bermain peda (semacam pertandingan anak-anak) gambar, peda kelereng, peda tarompa (sendal), engklek, congklak di tanah yang mereka lubangi sendiri, petak umpet, gobak sodor, hingga kejar-kejaran mengelilingi tiang seperti orang buta bermain arah. Permainan yang sangat jarang ditemui dimasa sekarang. What a nostalgic childhood!
Pernah suatu malam, ia mengajak saudara kembarnya begadang—hanya untuk menonton National Geographic. Menonton dokumentasi hutan dan bagaimana hewan-hewan berinteraksi, menonton bagaimana singa berburu rusa, dengan mata berat yang ujung-ujungnya ditinggal tidur saudaranya. Esok paginya, menguap bukanlah hal yang aneh. Ketika sang guru bertanya, Dia, dengan penuh wibawa—dan sedikit dramatis—menjawab, “Kami nonton film documenter sampai tengah malam, Buk.” Ada tawa kecil meletik di kelas, dan Dini—dengan kepala tegak dan senyum bangga—tetap merasa dirinya pahlawan kecil yang sedang menaklukkan ilmu dunia.
Rasa ingin tahunnya tak pernah padam. Tidak hanya kartun dan sesekali film dokumenter yang diputar di ruang keluarganya, Dini juga menanti acara “Fisika itu Mudah” dan “Fisika itu Asyik” di Televisi Edukasi, channel televisi bermutu yang sudah tidak ada lagi dewasa ini. Bocah SD ini menonton acara yang disuguhkan, meski tak paham, hanya karena rasanya menyenangkan. Peserta acara berlomba, melakukan percobaan, bahkan juga pernah ada peneliti dari luar negeri membuat pistol dari wortel. Sungguh mengesankan bagi anak umur belasan tahunan awal untuk melihat partikel minyak di atas air bergerak menjauh saat ditetesi larutan sabun, atau saat tumpukan paku bisa diangkat walaupun tidak dilem, diikat, ataupun disambung satu sama lain. Acara-acara ini dibuat oleh Yohanes Surya, seorang fisikawan ternama Indonesia—yang sangat ingin anak-anak Indonesia untuk dapat menyukai fisika. Beliau juga menulis buku-buku interaktif yang dengan ilustrasi dan dialog yang hidup, buku-buku itu membuat Dini merasa seperti sedang berbicara dengan seorang mentor. Buku yang fun! Dini kecil sangat mengidolakan Yohanes Surya kala itu.
Dari sana, kisahnya berlanjut. Ia mulai ikut olimpiade fisika, dari SMP hingga SMA. Dan ketika waktunya tiba, ia memilih kuliah fisika di Universitas Negeri Padang. Dalam hatinya, ia membawa satu keyakinan yang terus menguat, “Man saara ‘ala darbi wasala”—siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai, dan fisika adalah jalan hidupnya.
Kemudian jalannya pun mengantarnya jauh, melintasi pulau dan takdir, hingga ke Lampung. Dia diterima sebagai CPNS Angkatan 2019, namun karena COVID-19, ia baru bisa memulai lembaran barunya di tahun 2021. Banyak kejutan yang menanti di tampat yang baru ini. Siapa sangka ia akan menemukan takdirnya dalam cerita yang telah Allah karang seindah mungkin. Ia tiba sebagai guru, diterima sebagai sahabat, dan dicintai sebagai istri. Di tanah perantauan, Dini menemukan lebih dari sekadar tempat mengajar. Ia menemukan rumah. Di antara anak-anak yang luar biasa, ia terus tumbuh, tak henti belajar, tak henti bermimpi.
