Fitria Agustina, M.Pd., Guru Bahasa Jerman MAN 1 Bandar Lampung
Fitria Agustina, M.Pd., Guru Bahasa Jerman MAN 1 Bandar Lampung Impian untuk menjejakkan kaki di negeri yang selama bertahun-tahun telah ia pelajari bahasa dan budayanya, terpaksa harus ia kubur dalam-dalam. […]

Fitria Agustina, M.Pd., Guru Bahasa Jerman MAN 1 Bandar Lampung
Impian untuk menjejakkan kaki di negeri yang selama bertahun-tahun telah ia pelajari bahasa dan budayanya, terpaksa harus ia kubur dalam-dalam.

Kisah ini pun dimulai…
Tahun 1999, seorang calon mahasiswa yang berasal dari sebuah desa kecil di ujung Pulau Sumatra memberanikan diri merantau ke Yogyakarta. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan keluarga tercinta demi mengejar cita-cita dan mengukir sepenggal kisah hidupnya. Calon mahasiswa itu bernama Fitria Agustina. Ia dilahirkan ditengah-tengah keluarga pendidik. Ayah dan kakak perempuannya lebih dulu mengabdikan dirinya untuk mengajar dan medidik anak bangsa.
Berkuliah di Jogja adalah impian beribu pelajar begitu pun Fitri, oleh karena itu ia mencoba mendaftar disalah satu Universitas terbaik di Jogja. Universitas Negeri Yogyakarta (dahulu merupakan salah satu fakultas di Universitas Gajah Mada), yang ternyata merupakan almamater dari Ayahnya. Ia memilih Fakultas Seni dan Budaya Jurusan Bahasa Jerman.
Mungkin ada yang bertanya, “Mengapa Bahasa Jerman? Mengapa bukan Bahasa Inggris, Arab, atau bahasa asing lainnya?” Jawabannya bermula dari selembar koran lusuh yang ia temukan di meja kerja sang ayah. Di sana, terdapat artikel sederhana tentang perkembangan Islam di Jerman. Hanya itu? Ya, hanya itu. Namun dari situlah benih impian itu tumbuh. Ia mulai membayangkan, suatu hari nanti, dirinya bisa ikut mendakwahkan islam di salah satu negeri di Eropa itu.
Qadarullah, Allah mudahkan langkah awalnya, ia diberi kesempatan untuk belajar bahasa dan budaya Jerman di kampus tercinta, UNY. Tahun pertama di perantauan tidaklah mudah. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan kampus, suasana kos yang asing, dan tentu saja rasa rindu yang mendalam pada rumah dan keluarga. Salah satu tantangan unik yang ia hadapi adalah rasa manis dihampir semua makanan. Meski berdarah Jawa, lidahnya tetap bercita rasa Sumatra.
Tinggal di perkampungan yang mayoritas penduduknya asli Jogja, bahasa pun menjadi kendala. ia harus membiasakan diri berkomunikasi dalam Bahasa Jawa Krama dengan ibu kos dan para tetangga. Mungkin kalau tinggal di sekitar kampus, tantangannya tak seberat ini. Belum lagi soal arah jalan. Di Jogja, orang-orang biasa memberi petunjuk arah dengan istilah “ngalor, ngidul, ngetan, ngulon.” Ia hanya bisa bingung dan berkata, “Gak ngerti, gaes!”
Namun, Alhamdulillah, satu per satu rintangan berhasil ia lewati.
Menjelang akhir masa kuliah, dosen pembimbingnya memberikan tawaran luar biasa: melanjutkan studi ke Jerman.
“What? Jerman, gaes! Ya Allah, impian itu akhirnya datang juga!”
Sudah terbayang di benaknya untuk mengunjungi Tembok Berlin yang menyimpan sejarah pemisahan Jerman Barat dan Timur, Brandenburger Tor yang megah yang dibangun dari abad ke-18, hingga Kastil Neuschwanstein yang berdiri anggun di kaki Pegunungan Alpen dan banyak tempat yang selama ini hanya ia baca dan pelajari di ruang kelas, kini seolah berada selangkah lebih dekat.
Dengan penuh semangat, ia kabarkan berita bahagia itu kepada kedua orang tuanya.
Namun ternyata…kedua orang tuanya tidak memberikan izin.
Kecewa? Tentu. Sangat.
Namun ia tahu, restu orang tua adalah segalanya. Maka, untuk mengobati kekecewaannya itu, disela-sela menyusun skripsi, ia menerima panggilan sebagai guru privat bagi siswa-siswa SMA. Meski bayaran tidak besar, ia merasa cukup bahagia.
Alhamdulillah, perjuangannya ditutup dengan manis. Ia berhasil menyelesaikan studinya dengan predikat Sarjana Pendidikan Bahasa Jerman. Setelah lulus, ia kembali ke Lampung. Ia mengajar sebagai guru honorer di SMAN 1 Gedong Tataan dan juga di sebuah lembaga bahasa.
Setahun kemudian, pemerintah membuka seleksi CPNS. Ia pun mencoba peruntungannya dengan mendaftar untuk menjadi seorang guru Bahasa Jerman di sebuah SMAN di Menggala, Kabupaten Tulang Bawang. Saat itu, ia sangat yakin akan lulus. Karena hanya dua orang yang mendaftar. Ia hanya perlu mengalahkan satu pesaing saja.
Namun, takdir berkata lain.
Ia tidak lulus.
Ia gagal.
Rasa sedih dan kecewa pun tak terbendung. Namun, ia tetap berkeyakinan bahwa Allah tengah mempersiapkan sesuatu yang lebih indah untuknya. Terbukti pada tahun 2008 pemerintah membuka tes CPNS di lingkungan Kementerian Agama dan ia pun mencoba untuk mendaftar. Hanya satu kuota tersedia dan banyak pendaftar yang mempuyai latar belakang pendidikan dari berbagai bahasa asing. Alhamdulillah Allah berikan yang terbaik untuknya dan keluarga. Ia diterima di MAN 1 Bandar Lampung. Sebuah sekolah terbaik di Bandar Lampung yang mempunyai misi tidak hanya mencetak generasi yang pintar saja melainkan generasi yang berprestasi dan berakhlakul karimah. Sejak saat itu siswanya memanggilnya Frau Fitri.
Allah memberikan yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan, Ia hanya meminta kita untuk berusaha dan hasilnya itu urusan Allah.
